Me,
Myself, and I
Di
sebuah jalanan yang sepi, terdapat seorang perempuan yang sedang berjalan lesu
menuju ke sebuah rumah minimalis yang ada di seberang jalan. Namun saat akan
memasuki bagian dalam rumah, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mendapati bahwa
rumah tersebut sangat berantakan. Semua benda-benda berserakan di lantai
seperti baru saja di serang angin ribut. Ada apa ini?, tanyaku dalam hati. Saat
aku masih terus bertanya-tanya dalam hati, terdengar sebuah teriakan dari
ibuku, lalu aku berjalan menuju sumber suara. Ternyata sumber suara tersebut
datang dari sebuah kamar yang sedikit terbuka, walaupun hanya sedikit terbuka
tetapi aku bisa melihat jika ibu dan ayahku sedang bertengkar hebat. Ibu dan
ayahku memang sering bertengkar, tetapi aku tidak pernah membayangkan jika
mereka akan bertengkar sehebat ini. Dan saat itu terjadi, aku lebih memilih
untuk pergi jauh dari rumah karena aku pikir itu sangat menyakitkan (melihat
orangtuaku bertengkar).
“Nona
Eleonora?? Nona pergi kemana saja? Bibi sangat khawatir. Apa nona baik-baik
saja??”, tanya bibi kepadaku. Aku sebenarnya sedang tidak ingin di ajak bicara
oleh siapapun tetapi bibi terlihat sangat khawatir, terlebih saat mengetahui
bahwa ibu dan ayah sedang bertengkar hebat. “Saya baik-baik saja, bi. Bibi
tidak usah khawatirkan saya”, ucapku lirih sambil sedikit tersenyum. Kemudian
bibi mendekatiku dan berkata, “Saya tau perasaan nona saat ini. Pasti nona
sangat sedih melihat tuan dan nyonya seperti itu. Nona kalau ingin menangis,
menangis saja. Tidak apa-apa”, ucap bibi membuat hatiku terasa sesak. Aku
termenung sejenak, kemudian memeluk bibi dan menagis di pelukannya.
.
.
.
Keesokan
harinya setelah orangtuaku bertengkar, aku melihat ibu dan ayahku di meja makan
nampak terlihat seolah baik-baik saja, walaupun ada jarak di antara mereka tetapi
mereka mencoba tetap tenang. Kami bertiga mulai makan tanpa suara, hingga
akhirnya ibu memecah keheningan di antara kami bertiga, “Ibu dengar dari bibi,
kamu kemarin pergi dari rumah sejak pagi dan baru pulang saat malam hari.
Kemana saja??”, tanya ibu tiba-tiba. Mendengar itu, aku berhenti makan dan
menatapnya sejenak kemudian berkata, “Aku mengerjakan tugas di rumah Ellen dan
pergi jalan-jalan bersama teman-teman yang lain”, jawabku sembari melanjutkan
makan. “Oh begitu”, jawab ibu singkat. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang
pertengkaran antara ayah dan ibu kemarin tetapi aku mengurungkan niat itu
karena aku tahu suasana hati mereka sedang tidak baik saat ini meskipun mereka
menutupinya dengan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja. “Baiklah aku
akan pergi ke sekolah dulu. Terima kasih atas makanannya. Aku sangat
menikmatinya”, ucapku sembari bangkit dari kursi untuk mengambil tas dan
bergegas pergi ke sekolah. Ku lihat ibu hanya mengangguk, sementara ayah hanya
memandangiku dalam diam. Kemudian aku berjalan pergi meninggalkan mereka. Aku
bersekolah di sekolah seni karena aku menyukai music dan ingin menjadi seorang
composer nantinya. Menurutku, musik mampu membuat hidupku terasa menyenangkan,
apalagi untuk saat ini. Saat kehidupan keluargaku sedang tidak harmonis,
sehingga hanya dengan musiklah aku mencurahkan semua isi hatiku. Jarak dari
rumah ke sekolahku juga cukup dekat sehingga aku hanya berjalan kaki. Di
sekolah aku bukan siswa populer, hanya siswa biasa tetapi guru-guru mengagumi
kemampuan bermusikku yang mereka anggap di atas rata-rata sehingga banyak dari
teman-teman sekelasku yang tidak menyukaiku. Mereka bahkan terang-terangan
mengatakan bahwa mereka sangat membenciku karena mereka menganggapku sombong
dengan kemampuan yang aku miliki itu. Lucu sekali, pikirku. Ingin sekali
mengatakan kepada mereka bahwa “semua orang di dunia ini memiliki kemampuannya
masing-masing dan juga berbeda-beda setiap orang, jadi mulailah kenali kemampuanmu
itu agar tidak ada lagi rasa iri terhadap kemampuan orang lain.”
.
.
.
Setelah
berjalan beberapa menit, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku berjalan menyusuri
tangga menuju kelas. Ku lihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.45. Saat
akan membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam kelas dan itu
ramai sekali. Dan saat ku lihat, ternyata salah dua di antara mereka sedang
berkelahi. Sangat mengingatkanku pada orangtuaku, ucapku dalam hati. Kemudian
tanpa pikir panjang, aku berlari memasuki arena perkelahian dan mencoba melerai
mereka berdua, “Hei, apa yang kalian
lakukan? Sudah hentikan. Berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Malah
justru akan menambah masalah”, teriakku kepada mereka. Lalu mereka dan seisi
kelas memandangiku dengan tatapan sinis. Semuanya terdiam, hingga akhirnya
salah satu dari mereka angkat bicara, “Kenapa kau peduli sekali pada hidup kami
huh? Terserah kami mau melakukan apa. Ini hidup kami. Kau tidak perlu
repot-repot ikut campur, mengerti?”, sahut Rachel. “Tidak ada gunanya juga kau
menceramahi kami. Semuanya tidak akan pernah berubah. Sudahlah urusi saja
hidupmu sendiri, terlebih hidup orangtuamu yang juga sering bertengkar. Dan sepertinya
mereka tidak pernah mendidikmu untuk menjadi anak yang baik. Atau kau melakukan
ini semua hanya untuk membuat guru-guru semakin menyukaimu? Sungguh tidak tahu
malu”, ucap Anna dengan nada membentak. Perkataan Anna sangat menyakiti hatiku.
Aku sadar bahwa mereka semua memang mengetahui keadaan keluargaku yang seperti
itu, tetapi ini sudah kelewatan. “Oke aku memang bukan anak baik dan aku tahu
memang tidak ada gunanya menceramahi kalian, tetapi setidaknya tolong hargailah
orang lain. Sesungguhnya aku merasa kasihan pada hidup kalian yang hanya kalian
habiskan untuk berkelahi. Aku hanya tidak ingin melihat kalian menderita. Dan
tolong jangan membawa-bawa orangtuaku. Mereka tidak ada hubungannya dengan
kalian. Oh ya satu lagi, tolong cintailah diri kalian sendiri, kalian terlihat
sangat menyedihkan”, jawabku sembari meninggalkan mereka pergi. Sesaat sebelum
melangkah pergi aku melihat Alex tersenyum padaku, namun aku tidak peduli dan
berjalan meninggalkannya. Sepertinya setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk
membolos dan memilih pergi ke taman kota, “Hei, kau keren sekali tadi”, teriak
Alex mengagetkanku. “Kenapa kau mengikutiku? Tolong jangan ikuti aku. Dan
tolong itu tidak keren sama sekali. Aku menyesal melakukan itu”, jawabku tak
minat. Alex malah tersenyum girang dan semakin mengikutiku pergi. Sepertinya
aku salah cara untuk mengusirnya, gumamku dalam hati. “Tidak tidak. Bagiku itu
sangat keren. Kau tau berkat ucapanmu tadi, mereka hanya terdiam sambil
memandangi punggungmu. Bagaimana kau bisa melakukan itu?”, ucap Alex panjang
lebar yang membuat kepalaku semakin pening. “Apa kau tidak dengar, tolong
jangan ikuti aku. Aku ingin sendirian sekarang. Jangan sok peduli padaku. Kalau
kau masih mengikutiku, kau tidak ada bedanya dengan mereka”, teriakku pada Alex
kesal. Kemudian aku benar-benar meninggalkan Alex yang nampak kaget, “Hei, aku
memang peduli padamu. Salahkah itu? Aku juga ingin berteman denganmu. Katamu
kita harus menghargai orang lain, jadi sekarang tolong hargai aku juga yang
ingin menjadi temanmu”, teriak Alex dari kejauhan yang membuatku menghentikan
langkah dan menoleh ke arahnya. Ia terus menatapku, akupun juga tetapi akhirnya
aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa hatiku begitu membeku sekarang,
karena aku selalu berpikir bahwa semua manusia di dunia ini sama saja, tidak
ada yang peduli dan mengerti dengan perasaan orang lain, termasuk orangtua kita
sendiri. Apakah aku sejahat itu?, jawabannya TIDAK. Mungkin sebagian dari
mereka menganggapku jahat, tetapi itu karena mereka yang memulai dahulu. Selain
itu, aku sering berpikir bahwa terkadang menjadi jahat itu perlu karena tidak
semua orang di sekitar kita itu baik, bahkan sahabat dekat kita sekalipun.
Dengan hadirnya orang semacam mereka, tentu akan membuat kita semakin kuat
untuk menghadapi segala cobaan hidup. Tuhan memang selalu adil dalam semua hal,
termasuk dalam menciptakan teman baik dan teman jahat. Itu seperti mengingatkan
kita agar tidak salah dalam memilih teman.
.
.
.
Sesampainya
di taman kota, aku melihat banyak orang berlalu-lalang disana. Salah satunya
sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan 2 orang anak kecil. Mereka
sedang menikmati suasana taman kota dan terlihat sangat bahagia. Jujur aku
teringat kedua orangtuaku sekarang. Pasti aku sangat bahagia jika mempunyai
orangtua seperti keluarga itu, tetapi kenyataan memang tidak seindah harapan.
Ya itulah hidup. Hidup kadang terlihat lebih menyakitkan di bandingkan dengan
kematian. “Aku akan mengikuti kau terus meskipun kau tidak pernah menganggapku.
Aku hanya ingin menjadi temanmu”, ucapan Alex membuyarkan lamunanku, aku tidak
percaya ia mengikutiku (lagi) sampai taman kota. Benar-benar gila, gumamku
pelan. “Bukannya sudah ku bilang, jangan mengikutiku. Apa kau tidak paham juga
huh? Apa kau benar-benar ingin menjadi temanku?”, tanyaku pada Alex. Alex yang
semula bediri dengan ekspresi lesu seketika berubah sumringah saat aku merespon
ucapannya, “Ya aku sungguh ingin menjadi temanmu. Apapun yang terjadi kepadamu,
aku akan siap membantumu dan menjagamu, aku juga akan selalu mendukungmu. Aku
berjanji akan menjadi teman yang baik untukmu, karena aku percaya kau adalah
wanita yang keren dan memiliki prinsip hidup yang jelas. Jarang sekali aku
menemukan wanita yang sepertimu”, jawab Alex mantap. Aku tertawa mendengar
jawaban Alex, “Apa kau bilang? Akan menjagaku dan siap membantuku? Wah hebat
sekali. Tapi sayangnya sudah ada yang menjagaku selama ini, yaitu Tuhan dan
diriku sendiri. Jadi kau hanya bisa membantuku saja”. Alex terlihat kecewa
tetapi tetap mencoba tenang, “Tuhan dan dirimu sendiri? Lalu bagaimana dengan
orangtuamu? Apa mereka tidak menjagamu?”. Seketika hatiku sesak, dan dengan
ajaibnya aku menceritakan semuanya yang terjadi di keluargaku kepada Alex. Aku
piker hanya Alex yang mau mendengarkan keluh kesahku selama ini selain bibi.
Mungkin Alex juga teman pertamaku selama ini. “Mereka sangat menjagaku saat aku
masih kecil tetapi semua berubah saat aku mulai masuk SMA, mereka sering
bertengkar. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Masalah apa aku
juga tidak paham. Ingin sekali menanyakan ini kepada mereka tetapi mulutku
terlalu sulit untuk mengatakan ini semua. Jadi selama ini aku hanya bercerita
dengan bibi pembantu di rumahku. Hanya ia yang mampu menghiburku. Dan sekarang
aku heran sekali bisa menceritakan ini semua kepadamu. Teman pertamaku. Aku
ingin sekali mengembalikan kehidupanku yang dulu. Saat orangtuaku masih
baik-baik saja (tidak pernah bertengkar). Apa kau bisa membantuku?”, ucapku
pada Alex. Sekilas aku melihat mata Alex nampak berkaca-kaca, aku tidak tahu
maksud dari semua ini, yang jelas aku melihat ada aura ketulusan dalam diri
Alex. Mungkin itu yang membuatku mampu menceritakan ini semua kepadanya.
“Karena aku sudah berjanji kepadamu akan membantumu, maka dengan senang hati
aku akan membantumu. Maaf sudah menanyakan hal sensitif ini kepadamu. Aku tidak
tahu jika keadaan keluargamu seperti itu”, jawab Alex menyesal. Aku hanya
mengangguk, tanda tidak apa-apa. Melihat Alex yang merasa bersalah karena
menanyakan hal semacam ini, aku semakin yakin bahwa Alex adalah teman yang
hatinya masih murni dan dewasa. Aku sangat menyesal meneriakinya saat di
sekolah tadi. Kali ini sungguh aku sangat beruntung bisa menemukan teman yang
baik dan peduli seperti Alex. Dan berkat Alex juga, aku mulai menyadari bahwa
tidak semua manusia di dunia ini sama sifatnya. Mungkin banyak manusia di luar
sana yang masih peduli terhadap orang lain, hanya saja cara mereka menyampaikan
kepedulian tersebut berbeda-beda.
.
.
.
Setelah
bertemu dan mengobrol bersama Alex di taman kota, aku memutuskan pulang ke
rumah. Aku ingin melihat kondisi rumah apakah masih baik-baik saja setelah ku
tinggal pergi ke sekolah tadi pagi atau malah sudah hancur sekarang. Aku juga
akan bertanya kepada mereka tentang penyebab pertengkaran itu. Alex berkata padaku
bahwa jika kita ingin tahu tentang kebenaran sesuatu hal, kita harus berani
bertanya. sehingga setelah bertanya tentu kita akan merasa lega dan tidak
penasaran lagi. Walaupun ia hanya berkata seperti itu tetapi itu sangat
membantu mengurangi rasa takutku untuk bertanya. “Aku pulang”, ucapku sambil
memandang sekeliling karena lega rumah masih baik-baik saja. “Oh kau sudah
pulang? Bagaimana dengan sekolahmu? Apa baik-baik saja?”, tanya ibu membuatku
kaget. “Ah ya seperti biasanya. Tidak terlalu baik tetapi aku senang”, jawabku
tersenyum. Dan secara mengejutkan ayah ikut bergabung bersama denganku dan ibu.
Apa mereka sudah baikan?, tanyaku dalam hati. “Ayah dan Ibu, kebetulan sekali
kalian ada disini dan duduk bersama. Sudah lama aku tidak merasakan suasana
seperti ini. Terlebih saat kalian bertengkar. Aku selalu bercerita kepada bibi
karena aku tahu ayah dan ibu pasti tidak akan peduli kepadaku. Tapi jujur saat
kalian bertengkar, hatiku sangat sakit, ingin sekali melerai tetapi aku tidak
cukup berani. Untuk itu aku ingin bertanya ada masalah apa sehingga kalian
bertengkar? Aku hanya ingin memastikan saja”, ucapku panjang lebar membuat ibu
tiba-tiba menangis, ayah mencoba menenangkannya dan berkata, “Kami memang
bertengkar saat itu. Sangat berat memang tetapi pikiran ayah sudah buntu.
Sementara ibumu terus saja meminta mobil dan barang-barang mewah lainnya. Ayah
sudah mencoba menjelaskan kepada ibumu dan memintanya menunggu sebentar lagi
kalau uang sudah terkumpul banyak, tetapi ibumu tidak mendengarkan perkataan
ayah. Ya sudah ayah emosi dan bertengkar lah kami”, jawab ayah berkaca-kaca.
“Maafkan ibu nak, ibu memang egois. Tidak pernah memikirkan kamu dan juga
keluarga. Terima kasih sudah mau bertanya soal ini. Sebenarnya ibu akan
memberitahu masalah ini, tetapi ibu takut kamu akan membenci ibu. Untungnya
kamu sudah menanyakan ini, jadi ibu lega kalau kamu tidak membenci ibu”,
sambung ibu sambil terus sesenggukan menahan tangis. Aku juga sempat meneteskan
air mata dan berkata, “Tidak ibu. Eleonora tidak pernah membenci ayah dan ibu.
Eleonora hanya ingin mengetahui alasan yang sebenarnya karena selama ini
Eleonora tidak berani bertanya, ini semua juga berkat bantuan teman Eleonora,
yaitu Alex. Ia yang membuat Eleonora berani bertanya tentang ini”, jawabku.
Kemudian ayah dan ibu memelukku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas semua
yang telah ia berikan kepadaku. Teman yang baik dan peduli kepadaku serta
orangtua yang kembali harmonis. Tuhanlah yang memberikan cobaan, tetapi Tuhan
pula yang memberikan kebahagiaan.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar