Selasa, 05 Juni 2018

Cerpen Terrrrr-ndadak


Me, Myself, and I

            Di sebuah jalanan yang sepi, terdapat seorang perempuan yang sedang berjalan lesu menuju ke sebuah rumah minimalis yang ada di seberang jalan. Namun saat akan memasuki bagian dalam rumah, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mendapati bahwa rumah tersebut sangat berantakan. Semua benda-benda berserakan di lantai seperti baru saja di serang angin ribut. Ada apa ini?, tanyaku dalam hati. Saat aku masih terus bertanya-tanya dalam hati, terdengar sebuah teriakan dari ibuku, lalu aku berjalan menuju sumber suara. Ternyata sumber suara tersebut datang dari sebuah kamar yang sedikit terbuka, walaupun hanya sedikit terbuka tetapi aku bisa melihat jika ibu dan ayahku sedang bertengkar hebat. Ibu dan ayahku memang sering bertengkar, tetapi aku tidak pernah membayangkan jika mereka akan bertengkar sehebat ini. Dan saat itu terjadi, aku lebih memilih untuk pergi jauh dari rumah karena aku pikir itu sangat menyakitkan (melihat orangtuaku bertengkar).
            “Nona Eleonora?? Nona pergi kemana saja? Bibi sangat khawatir. Apa nona baik-baik saja??”, tanya bibi kepadaku. Aku sebenarnya sedang tidak ingin di ajak bicara oleh siapapun tetapi bibi terlihat sangat khawatir, terlebih saat mengetahui bahwa ibu dan ayah sedang bertengkar hebat. “Saya baik-baik saja, bi. Bibi tidak usah khawatirkan saya”, ucapku lirih sambil sedikit tersenyum. Kemudian bibi mendekatiku dan berkata, “Saya tau perasaan nona saat ini. Pasti nona sangat sedih melihat tuan dan nyonya seperti itu. Nona kalau ingin menangis, menangis saja. Tidak apa-apa”, ucap bibi membuat hatiku terasa sesak. Aku termenung sejenak, kemudian memeluk bibi dan menagis di pelukannya.

.
.
.

            Keesokan harinya setelah orangtuaku bertengkar, aku melihat ibu dan ayahku di meja makan nampak terlihat seolah baik-baik saja, walaupun ada jarak di antara mereka tetapi mereka mencoba tetap tenang. Kami bertiga mulai makan tanpa suara, hingga akhirnya ibu memecah keheningan di antara kami bertiga, “Ibu dengar dari bibi, kamu kemarin pergi dari rumah sejak pagi dan baru pulang saat malam hari. Kemana saja??”, tanya ibu tiba-tiba. Mendengar itu, aku berhenti makan dan menatapnya sejenak kemudian berkata, “Aku mengerjakan tugas di rumah Ellen dan pergi jalan-jalan bersama teman-teman yang lain”, jawabku sembari melanjutkan makan. “Oh begitu”, jawab ibu singkat. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang pertengkaran antara ayah dan ibu kemarin tetapi aku mengurungkan niat itu karena aku tahu suasana hati mereka sedang tidak baik saat ini meskipun mereka menutupinya dengan berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja. “Baiklah aku akan pergi ke sekolah dulu. Terima kasih atas makanannya. Aku sangat menikmatinya”, ucapku sembari bangkit dari kursi untuk mengambil tas dan bergegas pergi ke sekolah. Ku lihat ibu hanya mengangguk, sementara ayah hanya memandangiku dalam diam. Kemudian aku berjalan pergi meninggalkan mereka. Aku bersekolah di sekolah seni karena aku menyukai music dan ingin menjadi seorang composer nantinya. Menurutku, musik mampu membuat hidupku terasa menyenangkan, apalagi untuk saat ini. Saat kehidupan keluargaku sedang tidak harmonis, sehingga hanya dengan musiklah aku mencurahkan semua isi hatiku. Jarak dari rumah ke sekolahku juga cukup dekat sehingga aku hanya berjalan kaki. Di sekolah aku bukan siswa populer, hanya siswa biasa tetapi guru-guru mengagumi kemampuan bermusikku yang mereka anggap di atas rata-rata sehingga banyak dari teman-teman sekelasku yang tidak menyukaiku. Mereka bahkan terang-terangan mengatakan bahwa mereka sangat membenciku karena mereka menganggapku sombong dengan kemampuan yang aku miliki itu. Lucu sekali, pikirku. Ingin sekali mengatakan kepada mereka bahwa “semua orang di dunia ini memiliki kemampuannya masing-masing dan juga berbeda-beda setiap orang, jadi mulailah kenali kemampuanmu itu agar tidak ada lagi rasa iri terhadap kemampuan orang lain.”
.
.
.

            Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya aku sampai di sekolah. Aku berjalan menyusuri tangga menuju kelas. Ku lihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 06.45. Saat akan membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam kelas dan itu ramai sekali. Dan saat ku lihat, ternyata salah dua di antara mereka sedang berkelahi. Sangat mengingatkanku pada orangtuaku, ucapku dalam hati. Kemudian tanpa pikir panjang, aku berlari memasuki arena perkelahian dan mencoba melerai mereka berdua, “Hei, apa  yang kalian lakukan? Sudah hentikan. Berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru akan menambah masalah”, teriakku kepada mereka. Lalu mereka dan seisi kelas memandangiku dengan tatapan sinis. Semuanya terdiam, hingga akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara, “Kenapa kau peduli sekali pada hidup kami huh? Terserah kami mau melakukan apa. Ini hidup kami. Kau tidak perlu repot-repot ikut campur, mengerti?”, sahut Rachel. “Tidak ada gunanya juga kau menceramahi kami. Semuanya tidak akan pernah berubah. Sudahlah urusi saja hidupmu sendiri, terlebih hidup orangtuamu yang juga sering bertengkar. Dan sepertinya mereka tidak pernah mendidikmu untuk menjadi anak yang baik. Atau kau melakukan ini semua hanya untuk membuat guru-guru semakin menyukaimu? Sungguh tidak tahu malu”, ucap Anna dengan nada membentak. Perkataan Anna sangat menyakiti hatiku. Aku sadar bahwa mereka semua memang mengetahui keadaan keluargaku yang seperti itu, tetapi ini sudah kelewatan. “Oke aku memang bukan anak baik dan aku tahu memang tidak ada gunanya menceramahi kalian, tetapi setidaknya tolong hargailah orang lain. Sesungguhnya aku merasa kasihan pada hidup kalian yang hanya kalian habiskan untuk berkelahi. Aku hanya tidak ingin melihat kalian menderita. Dan tolong jangan membawa-bawa orangtuaku. Mereka tidak ada hubungannya dengan kalian. Oh ya satu lagi, tolong cintailah diri kalian sendiri, kalian terlihat sangat menyedihkan”, jawabku sembari meninggalkan mereka pergi. Sesaat sebelum melangkah pergi aku melihat Alex tersenyum padaku, namun aku tidak peduli dan berjalan meninggalkannya. Sepertinya setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk membolos dan memilih pergi ke taman kota, “Hei, kau keren sekali tadi”, teriak Alex mengagetkanku. “Kenapa kau mengikutiku? Tolong jangan ikuti aku. Dan tolong itu tidak keren sama sekali. Aku menyesal melakukan itu”, jawabku tak minat. Alex malah tersenyum girang dan semakin mengikutiku pergi. Sepertinya aku salah cara untuk mengusirnya, gumamku dalam hati. “Tidak tidak. Bagiku itu sangat keren. Kau tau berkat ucapanmu tadi, mereka hanya terdiam sambil memandangi punggungmu. Bagaimana kau bisa melakukan itu?”, ucap Alex panjang lebar yang membuat kepalaku semakin pening. “Apa kau tidak dengar, tolong jangan ikuti aku. Aku ingin sendirian sekarang. Jangan sok peduli padaku. Kalau kau masih mengikutiku, kau tidak ada bedanya dengan mereka”, teriakku pada Alex kesal. Kemudian aku benar-benar meninggalkan Alex yang nampak kaget, “Hei, aku memang peduli padamu. Salahkah itu? Aku juga ingin berteman denganmu. Katamu kita harus menghargai orang lain, jadi sekarang tolong hargai aku juga yang ingin menjadi temanmu”, teriak Alex dari kejauhan yang membuatku menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. Ia terus menatapku, akupun juga tetapi akhirnya aku meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa hatiku begitu membeku sekarang, karena aku selalu berpikir bahwa semua manusia di dunia ini sama saja, tidak ada yang peduli dan mengerti dengan perasaan orang lain, termasuk orangtua kita sendiri. Apakah aku sejahat itu?, jawabannya TIDAK. Mungkin sebagian dari mereka menganggapku jahat, tetapi itu karena mereka yang memulai dahulu. Selain itu, aku sering berpikir bahwa terkadang menjadi jahat itu perlu karena tidak semua orang di sekitar kita itu baik, bahkan sahabat dekat kita sekalipun. Dengan hadirnya orang semacam mereka, tentu akan membuat kita semakin kuat untuk menghadapi segala cobaan hidup. Tuhan memang selalu adil dalam semua hal, termasuk dalam menciptakan teman baik dan teman jahat. Itu seperti mengingatkan kita agar tidak salah dalam memilih teman.
.
.
.

            Sesampainya di taman kota, aku melihat banyak orang berlalu-lalang disana. Salah satunya sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan 2 orang anak kecil. Mereka sedang menikmati suasana taman kota dan terlihat sangat bahagia. Jujur aku teringat kedua orangtuaku sekarang. Pasti aku sangat bahagia jika mempunyai orangtua seperti keluarga itu, tetapi kenyataan memang tidak seindah harapan. Ya itulah hidup. Hidup kadang terlihat lebih menyakitkan di bandingkan dengan kematian. “Aku akan mengikuti kau terus meskipun kau tidak pernah menganggapku. Aku hanya ingin menjadi temanmu”, ucapan Alex membuyarkan lamunanku, aku tidak percaya ia mengikutiku (lagi) sampai taman kota. Benar-benar gila, gumamku pelan. “Bukannya sudah ku bilang, jangan mengikutiku. Apa kau tidak paham juga huh? Apa kau benar-benar ingin menjadi temanku?”, tanyaku pada Alex. Alex yang semula bediri dengan ekspresi lesu seketika berubah sumringah saat aku merespon ucapannya, “Ya aku sungguh ingin menjadi temanmu. Apapun yang terjadi kepadamu, aku akan siap membantumu dan menjagamu, aku juga akan selalu mendukungmu. Aku berjanji akan menjadi teman yang baik untukmu, karena aku percaya kau adalah wanita yang keren dan memiliki prinsip hidup yang jelas. Jarang sekali aku menemukan wanita yang sepertimu”, jawab Alex mantap. Aku tertawa mendengar jawaban Alex, “Apa kau bilang? Akan menjagaku dan siap membantuku? Wah hebat sekali. Tapi sayangnya sudah ada yang menjagaku selama ini, yaitu Tuhan dan diriku sendiri. Jadi kau hanya bisa membantuku saja”. Alex terlihat kecewa tetapi tetap mencoba tenang, “Tuhan dan dirimu sendiri? Lalu bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka tidak menjagamu?”. Seketika hatiku sesak, dan dengan ajaibnya aku menceritakan semuanya yang terjadi di keluargaku kepada Alex. Aku piker hanya Alex yang mau mendengarkan keluh kesahku selama ini selain bibi. Mungkin Alex juga teman pertamaku selama ini. “Mereka sangat menjagaku saat aku masih kecil tetapi semua berubah saat aku mulai masuk SMA, mereka sering bertengkar. Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Masalah apa aku juga tidak paham. Ingin sekali menanyakan ini kepada mereka tetapi mulutku terlalu sulit untuk mengatakan ini semua. Jadi selama ini aku hanya bercerita dengan bibi pembantu di rumahku. Hanya ia yang mampu menghiburku. Dan sekarang aku heran sekali bisa menceritakan ini semua kepadamu. Teman pertamaku. Aku ingin sekali mengembalikan kehidupanku yang dulu. Saat orangtuaku masih baik-baik saja (tidak pernah bertengkar). Apa kau bisa membantuku?”, ucapku pada Alex. Sekilas aku melihat mata Alex nampak berkaca-kaca, aku tidak tahu maksud dari semua ini, yang jelas aku melihat ada aura ketulusan dalam diri Alex. Mungkin itu yang membuatku mampu menceritakan ini semua kepadanya. “Karena aku sudah berjanji kepadamu akan membantumu, maka dengan senang hati aku akan membantumu. Maaf sudah menanyakan hal sensitif ini kepadamu. Aku tidak tahu jika keadaan keluargamu seperti itu”, jawab Alex menyesal. Aku hanya mengangguk, tanda tidak apa-apa. Melihat Alex yang merasa bersalah karena menanyakan hal semacam ini, aku semakin yakin bahwa Alex adalah teman yang hatinya masih murni dan dewasa. Aku sangat menyesal meneriakinya saat di sekolah tadi. Kali ini sungguh aku sangat beruntung bisa menemukan teman yang baik dan peduli seperti Alex. Dan berkat Alex juga, aku mulai menyadari bahwa tidak semua manusia di dunia ini sama sifatnya. Mungkin banyak manusia di luar sana yang masih peduli terhadap orang lain, hanya saja cara mereka menyampaikan kepedulian tersebut berbeda-beda.
.
.
.

            Setelah bertemu dan mengobrol bersama Alex di taman kota, aku memutuskan pulang ke rumah. Aku ingin melihat kondisi rumah apakah masih baik-baik saja setelah ku tinggal pergi ke sekolah tadi pagi atau malah sudah hancur sekarang. Aku juga akan bertanya kepada mereka tentang penyebab pertengkaran itu. Alex berkata padaku bahwa jika kita ingin tahu tentang kebenaran sesuatu hal, kita harus berani bertanya. sehingga setelah bertanya tentu kita akan merasa lega dan tidak penasaran lagi. Walaupun ia hanya berkata seperti itu tetapi itu sangat membantu mengurangi rasa takutku untuk bertanya. “Aku pulang”, ucapku sambil memandang sekeliling karena lega rumah masih baik-baik saja. “Oh kau sudah pulang? Bagaimana dengan sekolahmu? Apa baik-baik saja?”, tanya ibu membuatku kaget. “Ah ya seperti biasanya. Tidak terlalu baik tetapi aku senang”, jawabku tersenyum. Dan secara mengejutkan ayah ikut bergabung bersama denganku dan ibu. Apa mereka sudah baikan?, tanyaku dalam hati. “Ayah dan Ibu, kebetulan sekali kalian ada disini dan duduk bersama. Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Terlebih saat kalian bertengkar. Aku selalu bercerita kepada bibi karena aku tahu ayah dan ibu pasti tidak akan peduli kepadaku. Tapi jujur saat kalian bertengkar, hatiku sangat sakit, ingin sekali melerai tetapi aku tidak cukup berani. Untuk itu aku ingin bertanya ada masalah apa sehingga kalian bertengkar? Aku hanya ingin memastikan saja”, ucapku panjang lebar membuat ibu tiba-tiba menangis, ayah mencoba menenangkannya dan berkata, “Kami memang bertengkar saat itu. Sangat berat memang tetapi pikiran ayah sudah buntu. Sementara ibumu terus saja meminta mobil dan barang-barang mewah lainnya. Ayah sudah mencoba menjelaskan kepada ibumu dan memintanya menunggu sebentar lagi kalau uang sudah terkumpul banyak, tetapi ibumu tidak mendengarkan perkataan ayah. Ya sudah ayah emosi dan bertengkar lah kami”, jawab ayah berkaca-kaca. “Maafkan ibu nak, ibu memang egois. Tidak pernah memikirkan kamu dan juga keluarga. Terima kasih sudah mau bertanya soal ini. Sebenarnya ibu akan memberitahu masalah ini, tetapi ibu takut kamu akan membenci ibu. Untungnya kamu sudah menanyakan ini, jadi ibu lega kalau kamu tidak membenci ibu”, sambung ibu sambil terus sesenggukan menahan tangis. Aku juga sempat meneteskan air mata dan berkata, “Tidak ibu. Eleonora tidak pernah membenci ayah dan ibu. Eleonora hanya ingin mengetahui alasan yang sebenarnya karena selama ini Eleonora tidak berani bertanya, ini semua juga berkat bantuan teman Eleonora, yaitu Alex. Ia yang membuat Eleonora berani bertanya tentang ini”, jawabku. Kemudian ayah dan ibu memelukku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas semua yang telah ia berikan kepadaku. Teman yang baik dan peduli kepadaku serta orangtua yang kembali harmonis. Tuhanlah yang memberikan cobaan, tetapi Tuhan pula yang memberikan kebahagiaan.

END
             



Tidak ada komentar:

Posting Komentar